Sabtu, 28 November 2015

ORANG KRISTEN TIDAK BERDEVOSI KEPADA MARIA, IBU YESUS

Sebelum dijawab inti pertanyaannya, ada hal yang perlu diluruskan “bahkan Gereja sampai bulan Oktober sebagai bulan Maria”. Yang benar, Oktober bukan bulan Maria, melainkan bulan Rosario. Bulan Maria adalah bulan Mei. Bahwa pada Mei dan Oktober umat Katolik banyak berdoa Rosario, kiranya itu benar. Selain dua bulan tersebut, masih ada belasan lain pesta dan hari raya yang terkait dengan Maria, misalnya hari raya Santa Perawan Bunda Allah, Maria dipersembahkan kepada Allah, Hati Suci Perawan Maria, dsb. Penetapan Gereja itu menunjukkan bahwa Maria Bunda Yesus memiliki peran penting dalam karya keselamatan Yesus Kristus, puteranya.

Saudara-saudari kita, umat Kristen, mereka menaruh hormat kepada Maria, sebagai ibu Yesus. Dalam hal ini Martin Luther memberikan teladan yang sangat bagus, namun benar, bahwa umat Kristen tidak memiliki tradisi berdevosi, atau memberi penghormatan secara khusus kepada Bunda Maria seperti yang lazim pada Gereja Katolik. Penyebabnya, karena dalam kekristenan tidak diberi temoat yang layak semua jenis devosi, bahkan berdevosi kepada Yesus sendiri, seperti misalnya berdevosi terhadap sengsara-Nya, hati-Nya yang kudus atau tubuh dan darah-Nya yang suci; meskipun mereka percaya terhadap kekudusan hati-Nya  dan kesucian sengsara-Nya. Orang Kristen sejak awal meniadakan devosi kepada para malaikat meskipun mereka percaya adanya para malaikat. Demikian juga, berdevosi terhadap orang kudus dihapuskan dalam praktek kehidupan kekristenan.

Umat Gereja Kristen berkeyakinan, tidak ada ibadah yang lebih layak selain kepada Allah dan tidak ada perantara kepada Allah selain Yesus, sebab Dia adalah satu-satu-Nya perantara. Hal ini, tidak ada yang bertentangan dengan Gereja Katolik. Gereja Katolik sepenuhnya juga berkeyakinan kepada orang kudus seperti Maria ibu Yesus, tidaklah sama dengan pujian dan ucapan syukur kepada Allah. Gereja Katolik tidak pernah ragu terhadap kebenaran berdevosi kepada Maria, apalagi, setelah diteguhkan oleh pesan-pesan Maria sendiri melalui peristiwa penampakannya, seperti di Lourdes, Garabandal, Guadalupe, dsb.

Salinan dari “Sorot Mencor - 18 Oktober 2015”

KONSTITUSI, DEKRIT, DAN ENSIKLIK

Konstitusi, pertama merupakan pernyataan yang dikeluarkan oleh konsili ekumenis mengenai dogma Gereja, misalnya Konsili Vatikan I mengeluarkan konstitusi tentang Gereja. Konsili Vatikan II (1962-1965) sebagai konsili ekumenis terakhir dalam Gereja Katolik telah menghasilkan empat konstitusi: Dei Verbum tentang Wahyu Ilahi; Gaudium et Spes tentang Gereja; Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi Kudus. Kedua, konstitusi adalah anggapan dasar suatu ordo, tarekat, atau serikat religius yang dikukuhkan oleh seorang Paus atau Uskup. Ketiga, merupakan suatu dokumen dari Paus untuk mengumumkan hokum atau keputusan penting, baik kebijaksanaan sendiri (Motu Proprio), atau dalam kebersamaan dengan dewan kardinal (Bula).

Dekrit merupakan penjabaran ajaran resmi Gereja tentang soal-soal khusus dalam rangka pembaharuan dan penyesuaian. Konsili Vatikan II menghasilkan Sembilan dekrit, antara lain : Ad Gentes tentang karya misioner Gereja; Apostolicam Actuositatem tentang kerasulan awam; Christus Dominus tentang kegembalaan Uskup dalam kehidupan gereja Katolik; Inter Mirifica tentang alat-alat komunikasi sosial dalam Gereja. Optatam Totius tentang pendidikan imam; Orientalium Ecclesiarum tentang Gereja-Gereja Katolik Timur; Perfectae Caritatis mengenai pembaharuan yang serasi hidup kebiaraan; Presbyterorum Ordinis mengenai kehidupan dan pelayanan para imam; Unitatis Redintegratio adalah dekrit tentang ekumene.

Ensiklik adalah urat penting yang memiliki wibawa Magisterium (kuasa mengajar Gereja) yang ditulus oleh Paus untuk seluruh Gereja atau sebagian warga Gereja. Dalam Gereja Timur ensiklik untuk menyebut surat yang ditulis Uskup yang ditulis untuk kalangan luas; sedang dalam Gereja Anglikan, ensiklik untuk menyebut pesan-pesan yang dikeluarkan pada akhir suatu konferensi. Contoh-contoh ensiklik yang penting dalam Gereja Katolik : Sicut Dudum (1435) – Paus Eugenius IV; Vix Pervenit (1745) – Paud Benediktus XIV; Quanta Cura (1864) – Paus Pius IX; Humanum Genus (1884) – Paus Leo XIII; Vehementer Nos (1905) – Paus Pius X; Humani Generis Redemptionem (1917) – Paus Benediktus XV; Mediator Dei (1947) – Paus Pius XII; dari Paus Yohanes Paulus II : Redemptor Hominis (1979), Laborem Exercens (1981), Redemptoris Mater (1987), Redemptoris Missio (1990), Centesimus Annus (1991), dari Paus Benediktus XVI : Caritas in Veritate (2008) dan Paus Fransiskus : Lumen VIdei (2013), Laudato Si (2015).

Salinan dari “Sorot Mencor - 20 September 2015”

JAWABAN 'AMIN' SAAT KOMUNI

Untuk menjawab penting atau tidak dalam mengucapkan kata “Amin” saat menerima komuni, perlu dijelaskan makna kata itu. Kata “Amin” berasal dari kata bahasa Ibrani, yang berarti semoga demikian, sungguh demikian. Dalam Perjanjian Lama, kata ini, digunakan untuk mengungkap persetujuan, juga untuk mengungkapkan pengukuhan. Dalam Perjanjian Baru kata “Amin” digunakan untuk mengungkapkan persetujuan dalam upacara ritual (liturgi). Gereja menggunakan kata “Amin” untuk menyatakan makna semoga demikian adanya; atau demikian hendaknya; atau mengungkapkan persetujuan; memang begitu adanya; pasti, atau sudah tentu. Kata Amin masuk dalam peribadatan kristen, melalui peribadatan Yahudi, sebab, ibadat Yahudi sudah menggunakan jauh sebelumnya.

Selanjutnya, ketika Imam, atau Akolit (Asisten Imam) menerimakan komuni, atau tubuh Kristus, ia menaikkan hosti di hadapan penerima sambil mengatakan, “Tubuh Kristus”, lalu roti disambut penerima sambil menyatakan “Amin”. Arti jawaban “Amin” yang dinyatakan penyambut “ya, saya setuju, ini memang Tubuh Kristus bagi saya”. Jawaban itu perlu sebab, seseorang bukan saja sedang mengungkapkan persetujuannya, namun dengan itu orang memberikan kesaksian kepada orang lain tentang imannya terhadap sesuatu yang sedang dilakukan.

Setiap kesaksian selalu memerlukan bentuk lahir, jika itu hanya di dalam hati, namanya bukan kesaksian. Nada, cara, volume, atau gaya seseorang dalam menuturkan kata-kata sering mengekspresikan sikap batin seseorang. Orang yang menyatakan ketika menyambut tubuh Kristus “Amin” dengan mantap, jelas dan tegas, diharapkan itu mencerminkan sikap batin terhadap Tubuh Kristus yang diimani. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan, betapa perlu dan pentingnya menjawab “Amin” saat menerima Tubuh Kristus.

Salinan dari “Sorot Mencor - 14 Juni 2015”

PRINSIP-PRINSIP AJARAN SOSIAL GEREJA

Benar, bahwa Gereja memberi perhatian besar terhadap Ajaran Sosial Gereja, beberapa tahun lalu, secara nasional dalam rangka peringatan 100 tahun Rerum Novarum, dibanyak tempat dilakukan pengkajian, publiasi, pendalaman, dan aneka bentuk kegiatan bertujuan agar seruan Gereja terkait membangun dunia yang semakin sejahtera semakin menjadi efektif.

Adapun, prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja (ASG) ada lima : Martabat Manusia, Berpihak kepada Kaum Miskin, Solidaritas, Subsidiaritas, dan Kesejahteraan Umum. Prinsip pertama, Martabat Manusia, prinsip ini dasarnya adalah misi Kristus sendiri, yakni keselamatan seluruh umat manusia. Martabat Manusia sebagai citra Allah harus dipulihkan, dan dicerahkan kembali. Titik pusat perhatian Gereja membangun manusia, bukan materi.

Prinsip kedua, Berpihak kepada Kaum Miskin, pilihan Gereja ini berdasar Visi Yesus sendiri yang berpihak pada kaum miskin (Luk 4:18-19), Paus Paulus VI melalui Octogesima Adveniens dan Yohanes Paulus II menyerukan, Gereja tetap berpihak pada kaum miskin. Prinsip ketiga, Solidaritas. Melalui prinsip ini hendak dinyatakan bahwa keperpihakan Gereja terhadap kaum miskin dan tertindas, bukan sekedar berbelas kasih, namun suatu ketetapan hati yang mantap dan tekun untuk berkomitmen terhadap kesejahteraan umum, pada kebaikan semua orang dan setiap individu.

Keempat, Subsidiaritas, prinsip ini dalam usaha menyejahterakan kaum miskin dan tertindas, menuntut partisipasi dari yang diperjuangkan, mereka harus menentukan sendiri, atau mengambil keputusan sendiri dalam perjuangan menyangkut dirinya. Kelima, prinsip kesejahteraan umum mengajarkan bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain. Tanggung jawab itu mewajibkan bagi setiap orang untuk mengambil bagian dalam menyejahterakan setiap individu, kelompok dalam masyarakat.

Salinan dari “Sorot Mencor - 2 Agustus 2015”