Benar sekali bila masa Adven mirip dengan masa Prapaskah, sebab, memang demikian ditetapkan oleh Gereja. Awalnya hari raya Natal hanya disiapkan beberapa hari, namun dalam perkembangannya ditambah seiring dengan pemaknaan hari raya Natal sebagai hari raya utama dalam Gereja. Sebagai hari raya utama, maka, persiapan lalu disusun mirip dengan menyambut hari raya pertama dan utama dalam Gereja, yakni hari raya Paskah.
Kemiripan itu, bacaan-bacaan yang dipilih secara khusus, warna liturgi ungu yang menyerukan keprihatinan dan pertobatan. Lamanya, dari yang sebelumnya hanya beberapa hari, diubah menjadi empat pekan, secara simbolis dekat dengan 40 hari dalam masa Prapaskah. Madah kemuliaan dalam misa hari Minggu ditiadakan, ditingkatkan aksi-aksi sosial untuk berderma. Hanya memang benar, dalam masa Adven tidak ada anjuran untuk berpuasa dan tidak menonjolkan matiraga sebagai ungkapan tobat. Bagaimana jika, berpuasa?
Secara tata lahir, masa Adven dan masa Prapaskah dalam banyak hal memang mirip, namun secara batin, nuansanya berbeda. Pada masa Prapaskah nuansanya duka, sedih, sebab, dalam masa ini, Gereja sedang merenungkan sengsara Tuhan. Sedang dalam masa Adven, Gereja sedang merenungkan misteri penjelmaan dan kedatangan Tuhan. Kata Adven sendiri berasal dari kata Adventus, artinya datang. Jadi, meskipun ada keprihatinan dan anjuran pertobatan, namun dengan batin suka cita, sebab, kedatangan Kristus harus disambut dengan hati gembira.
Gereja tidak melarang untuk berpuasa dalam masa Adven, bahkan Gereja menganjurkan umat Katolik matiraga sepanjang tahun, yakni pada setiap hari Jumat. Juga tidak dilarang pada hari-hari lain. Dalam hal ini Gereja mengajarkan demikian, “Hari dan waktu tobat dalam seluruh Gereja ialah setiap hari Jumat sepanjang tahun, dan pula masa tobat empat puluh hari. Pantang dari makan daging atau dari makanan lainnya seturut Konferensi Waligereja hendaknya dilakukan hari Jumat sepanjang tahun.” (KHK 1250, 1251).
Salinan dari “Sorot Mencor - 6 Desember 2015”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar