Sabtu, 12 Desember 2015

MASA ADVEN DI GEREJA KRISTEN

Meengapa dalam Gereja Katolik ada masa Adven? Dalam Gereja Katolik ada masa Adven, karena ada kalender liturgi, dimana selama sepanjang tahun misteri penjelmaan, kelahiran, karya dan ajaran-ajaran-Nya, sengsara, wafat, kebangkitan, kenaikan ke Surga dan kedatangan-Nya kembali. Selama masa Adven Gereja menguraikan misteri penjelmaan Yesus Kristus dan misteri kedatangan-Nya kembali pada akhir zaman. Bacaan-bacaan Kitab Suci, baik pada misa hari Minggu dan misa harian, serta bacaan pada ibadat harian menjelaskan kedua misteri tersebut.

Benarkah di dalam Gereja Kristen tidak ada masa Adven? Tidak semua, sebagian dalam Gereja Kristen ada kalender liturgi. Gereja menggunakan itu sebagian mirip, dan sebagian lain sama persis dengan yang digunakan dalam Gereja Katolik. Kemungkinan besar Gereja yang tidak menggunakan kalender liturgi adalah Gereja Protestan dengan sekte-sektenya, serta gereja-gereja independen, dan gereja pinggiran lainnya. Tetapi, Gereja Kristen yang tradisional, pada umumnya menggunakan kalender liturgi dan dengan sendirinya aturan masa advennya mirip dengan Gereja Katolik.

Gereja Kristen memahami masa Adven, sama dengan Katolik, adventus, berarti “datang”, hanya saja, Yesus yang datang itu, tidak dibedakan, antara penjelmaan dan kelahiran. Apa dampaknya dengan tidak ada pembedaan? Pada Gereja Kristen, bisa merayakan kedatangan Tuhan (Natal) sebelum tanggal 25 Desember. Natal bagi sebagian besar agama Kristen dirayakan sebagai kedatangan Tuhan di dunia, atau kedatangan Tuhan yang pertama. Tekanan pada kedatangan.

Selanjutnya, dalam Gereja Katolik, “kedatangan Tuhan”, dimulai dengan penjelmaan, baru kemudian kelahiran. Inilah yang menyebabkan, Gereja Katolik tidak dapat merayakan Natal sebelum tanggal 25 Desember, Natal, berarti lahir. Sebelum tanggal itu, Gereja masih merayakan misteri penjelmaan-Nya. Saya kira ini perbedaan kecil, yang perlu dibesar-besarkan. Sebab, sesama Katolikpun ada perbedaan, pada Gereja Ortodoks, Natal dirayakan meriah pada tanggal 6 Januari.

Salinan dari “Sorot Mencor - 8 Desember 2013”

Sabtu, 05 Desember 2015

BERPUASA PADA MASA ADVEN

Benar sekali bila masa Adven mirip dengan masa Prapaskah, sebab, memang demikian ditetapkan oleh Gereja. Awalnya hari raya Natal hanya disiapkan beberapa hari, namun dalam perkembangannya ditambah seiring dengan pemaknaan hari raya Natal sebagai hari raya utama dalam Gereja. Sebagai hari raya utama, maka, persiapan lalu disusun mirip dengan menyambut hari raya pertama dan utama dalam Gereja, yakni hari raya Paskah.

Kemiripan itu, bacaan-bacaan yang dipilih secara khusus, warna liturgi ungu yang menyerukan keprihatinan dan pertobatan. Lamanya, dari yang sebelumnya hanya beberapa hari, diubah menjadi empat pekan, secara simbolis dekat dengan 40 hari dalam masa Prapaskah. Madah kemuliaan dalam misa hari Minggu ditiadakan, ditingkatkan aksi-aksi sosial untuk berderma. Hanya memang benar, dalam masa Adven tidak ada anjuran untuk berpuasa dan tidak menonjolkan matiraga sebagai ungkapan tobat. Bagaimana jika, berpuasa?

Secara tata lahir, masa Adven dan masa Prapaskah dalam banyak hal memang mirip, namun secara batin, nuansanya berbeda. Pada masa Prapaskah nuansanya duka, sedih, sebab, dalam masa ini, Gereja sedang merenungkan sengsara Tuhan. Sedang dalam masa Adven, Gereja sedang merenungkan misteri penjelmaan dan kedatangan Tuhan. Kata Adven sendiri berasal dari kata Adventus, artinya datang. Jadi, meskipun ada keprihatinan dan anjuran pertobatan, namun dengan batin suka cita, sebab, kedatangan Kristus harus disambut dengan hati gembira.

Gereja tidak melarang untuk berpuasa dalam masa Adven, bahkan Gereja menganjurkan umat Katolik matiraga sepanjang tahun, yakni pada setiap hari Jumat. Juga tidak dilarang pada hari-hari lain. Dalam hal ini Gereja mengajarkan demikian, “Hari dan waktu tobat dalam seluruh Gereja ialah setiap hari Jumat sepanjang tahun, dan pula masa tobat empat puluh hari. Pantang dari makan daging atau dari makanan lainnya seturut Konferensi Waligereja hendaknya dilakukan hari Jumat sepanjang tahun.” (KHK 1250, 1251).

Salinan dari “Sorot Mencor - 6 Desember 2015”

Kamis, 03 Desember 2015

MAKNA LILIN ADVEN

Liturgi Gereja pada hakekatnya adalah tindakan yang bersifat simbolis. Segala sesuatu yang terkait dengan liturgi harus dipahami sebagai tindakan simbolis, atau melambangkan sesuatu. Lilin adven pun perlu dimaknai sebagai lambang, atau simbol. Lilin adven dalam tradisi Gereja, dipasang dalam lingkaran adven, bukan segi empat, atau bentuk lainnya. Dipilih bentuk lingkaran karena bentuk ini tidak memiliki awal dan akhir, lingkaran adven hendak melambangkan Tuhan yang datang, Dia adalah abadi, tanpa awal dan akhir. Yesus adalah alpa dan omega, awal dan akhir dari kehidupan manusia dan semesta.

Lilin adven berjumlah empat buah, hendak melambangkan lamanya waktu masa adven. Setiap lilin melambangkan pekan, jika lilin addven berjumlah empat berarti lamanya masa adven empat pekan. Lilin adven tidak dinyalakan serentak, pada pekan pertama dinyalakan satu lilin, pekan kedua, dua lilin, dan seterusnya. Penyalaan yang bertahap ini selain hendak menyatakan tahap perjalanan masa adven, nyala lilin itu melambangkan kerinduan hati manusia dalam menantikan kedatangan Tuhan. Pada pekan pertama, kerinduan manusia masih kecil, namun berangsur-angsur bertambah semakin besar, sehingga pada pekan keempat dinyalakan empat lilin, artinya kerinduan manusia akan kedatangan Tuhan itu sudah tak tertahankan lagi. Sekaligus melambangkan bahwa kelahiran Kristus sudah semakin mendekat.

Lilin adven ditempatkan pada lingkaran adven yang dibuat dari daun-daun evergreen, seperti daun cemara. Daun-daun yang selalu hijau sepanjang tahun, bahkan di musim gugur dan musim dingin sekalipun daunnya tetap menghijau. Daun evergreen pada lingkaran adven melambangkan keabadian jiwa kita. Kristus datang ke dunia untuk memberikan kehidupan yang tanpa akhir. Jika diantara daun-daun hijau diberikan hiasan buah-buah warna merah, maka itu melambangkan darah dan pengurbanan Kristus dalam menyelamatkan manusia.

Jika lilin adven dibuat warna ungu sebagai lambang pertobatan, atau keprihatinan. Hal itu melambangkan, sikap paling tepat dalam menyambut kedatangan Tuhan adalah sikap tobat. Sedangkan pada lilin ketiga dipilih warna merah muda. Warna merah muda itu dalam liturgi Gereja sebagai lambang sukacita, karena Natal sudah akan tiba. Jika keempat lilin itu telah digantikan lilin berwarna putih, artinya penantian telah sampai kepenuhannya, Yesus datang.

Salinan dari “Sorot Mencor - 21 Desember 2014”

Sabtu, 28 November 2015

ORANG KRISTEN TIDAK BERDEVOSI KEPADA MARIA, IBU YESUS

Sebelum dijawab inti pertanyaannya, ada hal yang perlu diluruskan “bahkan Gereja sampai bulan Oktober sebagai bulan Maria”. Yang benar, Oktober bukan bulan Maria, melainkan bulan Rosario. Bulan Maria adalah bulan Mei. Bahwa pada Mei dan Oktober umat Katolik banyak berdoa Rosario, kiranya itu benar. Selain dua bulan tersebut, masih ada belasan lain pesta dan hari raya yang terkait dengan Maria, misalnya hari raya Santa Perawan Bunda Allah, Maria dipersembahkan kepada Allah, Hati Suci Perawan Maria, dsb. Penetapan Gereja itu menunjukkan bahwa Maria Bunda Yesus memiliki peran penting dalam karya keselamatan Yesus Kristus, puteranya.

Saudara-saudari kita, umat Kristen, mereka menaruh hormat kepada Maria, sebagai ibu Yesus. Dalam hal ini Martin Luther memberikan teladan yang sangat bagus, namun benar, bahwa umat Kristen tidak memiliki tradisi berdevosi, atau memberi penghormatan secara khusus kepada Bunda Maria seperti yang lazim pada Gereja Katolik. Penyebabnya, karena dalam kekristenan tidak diberi temoat yang layak semua jenis devosi, bahkan berdevosi kepada Yesus sendiri, seperti misalnya berdevosi terhadap sengsara-Nya, hati-Nya yang kudus atau tubuh dan darah-Nya yang suci; meskipun mereka percaya terhadap kekudusan hati-Nya  dan kesucian sengsara-Nya. Orang Kristen sejak awal meniadakan devosi kepada para malaikat meskipun mereka percaya adanya para malaikat. Demikian juga, berdevosi terhadap orang kudus dihapuskan dalam praktek kehidupan kekristenan.

Umat Gereja Kristen berkeyakinan, tidak ada ibadah yang lebih layak selain kepada Allah dan tidak ada perantara kepada Allah selain Yesus, sebab Dia adalah satu-satu-Nya perantara. Hal ini, tidak ada yang bertentangan dengan Gereja Katolik. Gereja Katolik sepenuhnya juga berkeyakinan kepada orang kudus seperti Maria ibu Yesus, tidaklah sama dengan pujian dan ucapan syukur kepada Allah. Gereja Katolik tidak pernah ragu terhadap kebenaran berdevosi kepada Maria, apalagi, setelah diteguhkan oleh pesan-pesan Maria sendiri melalui peristiwa penampakannya, seperti di Lourdes, Garabandal, Guadalupe, dsb.

Salinan dari “Sorot Mencor - 18 Oktober 2015”

KONSTITUSI, DEKRIT, DAN ENSIKLIK

Konstitusi, pertama merupakan pernyataan yang dikeluarkan oleh konsili ekumenis mengenai dogma Gereja, misalnya Konsili Vatikan I mengeluarkan konstitusi tentang Gereja. Konsili Vatikan II (1962-1965) sebagai konsili ekumenis terakhir dalam Gereja Katolik telah menghasilkan empat konstitusi: Dei Verbum tentang Wahyu Ilahi; Gaudium et Spes tentang Gereja; Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi Kudus. Kedua, konstitusi adalah anggapan dasar suatu ordo, tarekat, atau serikat religius yang dikukuhkan oleh seorang Paus atau Uskup. Ketiga, merupakan suatu dokumen dari Paus untuk mengumumkan hokum atau keputusan penting, baik kebijaksanaan sendiri (Motu Proprio), atau dalam kebersamaan dengan dewan kardinal (Bula).

Dekrit merupakan penjabaran ajaran resmi Gereja tentang soal-soal khusus dalam rangka pembaharuan dan penyesuaian. Konsili Vatikan II menghasilkan Sembilan dekrit, antara lain : Ad Gentes tentang karya misioner Gereja; Apostolicam Actuositatem tentang kerasulan awam; Christus Dominus tentang kegembalaan Uskup dalam kehidupan gereja Katolik; Inter Mirifica tentang alat-alat komunikasi sosial dalam Gereja. Optatam Totius tentang pendidikan imam; Orientalium Ecclesiarum tentang Gereja-Gereja Katolik Timur; Perfectae Caritatis mengenai pembaharuan yang serasi hidup kebiaraan; Presbyterorum Ordinis mengenai kehidupan dan pelayanan para imam; Unitatis Redintegratio adalah dekrit tentang ekumene.

Ensiklik adalah urat penting yang memiliki wibawa Magisterium (kuasa mengajar Gereja) yang ditulus oleh Paus untuk seluruh Gereja atau sebagian warga Gereja. Dalam Gereja Timur ensiklik untuk menyebut surat yang ditulis Uskup yang ditulis untuk kalangan luas; sedang dalam Gereja Anglikan, ensiklik untuk menyebut pesan-pesan yang dikeluarkan pada akhir suatu konferensi. Contoh-contoh ensiklik yang penting dalam Gereja Katolik : Sicut Dudum (1435) – Paus Eugenius IV; Vix Pervenit (1745) – Paud Benediktus XIV; Quanta Cura (1864) – Paus Pius IX; Humanum Genus (1884) – Paus Leo XIII; Vehementer Nos (1905) – Paus Pius X; Humani Generis Redemptionem (1917) – Paus Benediktus XV; Mediator Dei (1947) – Paus Pius XII; dari Paus Yohanes Paulus II : Redemptor Hominis (1979), Laborem Exercens (1981), Redemptoris Mater (1987), Redemptoris Missio (1990), Centesimus Annus (1991), dari Paus Benediktus XVI : Caritas in Veritate (2008) dan Paus Fransiskus : Lumen VIdei (2013), Laudato Si (2015).

Salinan dari “Sorot Mencor - 20 September 2015”

JAWABAN 'AMIN' SAAT KOMUNI

Untuk menjawab penting atau tidak dalam mengucapkan kata “Amin” saat menerima komuni, perlu dijelaskan makna kata itu. Kata “Amin” berasal dari kata bahasa Ibrani, yang berarti semoga demikian, sungguh demikian. Dalam Perjanjian Lama, kata ini, digunakan untuk mengungkap persetujuan, juga untuk mengungkapkan pengukuhan. Dalam Perjanjian Baru kata “Amin” digunakan untuk mengungkapkan persetujuan dalam upacara ritual (liturgi). Gereja menggunakan kata “Amin” untuk menyatakan makna semoga demikian adanya; atau demikian hendaknya; atau mengungkapkan persetujuan; memang begitu adanya; pasti, atau sudah tentu. Kata Amin masuk dalam peribadatan kristen, melalui peribadatan Yahudi, sebab, ibadat Yahudi sudah menggunakan jauh sebelumnya.

Selanjutnya, ketika Imam, atau Akolit (Asisten Imam) menerimakan komuni, atau tubuh Kristus, ia menaikkan hosti di hadapan penerima sambil mengatakan, “Tubuh Kristus”, lalu roti disambut penerima sambil menyatakan “Amin”. Arti jawaban “Amin” yang dinyatakan penyambut “ya, saya setuju, ini memang Tubuh Kristus bagi saya”. Jawaban itu perlu sebab, seseorang bukan saja sedang mengungkapkan persetujuannya, namun dengan itu orang memberikan kesaksian kepada orang lain tentang imannya terhadap sesuatu yang sedang dilakukan.

Setiap kesaksian selalu memerlukan bentuk lahir, jika itu hanya di dalam hati, namanya bukan kesaksian. Nada, cara, volume, atau gaya seseorang dalam menuturkan kata-kata sering mengekspresikan sikap batin seseorang. Orang yang menyatakan ketika menyambut tubuh Kristus “Amin” dengan mantap, jelas dan tegas, diharapkan itu mencerminkan sikap batin terhadap Tubuh Kristus yang diimani. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan, betapa perlu dan pentingnya menjawab “Amin” saat menerima Tubuh Kristus.

Salinan dari “Sorot Mencor - 14 Juni 2015”

PRINSIP-PRINSIP AJARAN SOSIAL GEREJA

Benar, bahwa Gereja memberi perhatian besar terhadap Ajaran Sosial Gereja, beberapa tahun lalu, secara nasional dalam rangka peringatan 100 tahun Rerum Novarum, dibanyak tempat dilakukan pengkajian, publiasi, pendalaman, dan aneka bentuk kegiatan bertujuan agar seruan Gereja terkait membangun dunia yang semakin sejahtera semakin menjadi efektif.

Adapun, prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja (ASG) ada lima : Martabat Manusia, Berpihak kepada Kaum Miskin, Solidaritas, Subsidiaritas, dan Kesejahteraan Umum. Prinsip pertama, Martabat Manusia, prinsip ini dasarnya adalah misi Kristus sendiri, yakni keselamatan seluruh umat manusia. Martabat Manusia sebagai citra Allah harus dipulihkan, dan dicerahkan kembali. Titik pusat perhatian Gereja membangun manusia, bukan materi.

Prinsip kedua, Berpihak kepada Kaum Miskin, pilihan Gereja ini berdasar Visi Yesus sendiri yang berpihak pada kaum miskin (Luk 4:18-19), Paus Paulus VI melalui Octogesima Adveniens dan Yohanes Paulus II menyerukan, Gereja tetap berpihak pada kaum miskin. Prinsip ketiga, Solidaritas. Melalui prinsip ini hendak dinyatakan bahwa keperpihakan Gereja terhadap kaum miskin dan tertindas, bukan sekedar berbelas kasih, namun suatu ketetapan hati yang mantap dan tekun untuk berkomitmen terhadap kesejahteraan umum, pada kebaikan semua orang dan setiap individu.

Keempat, Subsidiaritas, prinsip ini dalam usaha menyejahterakan kaum miskin dan tertindas, menuntut partisipasi dari yang diperjuangkan, mereka harus menentukan sendiri, atau mengambil keputusan sendiri dalam perjuangan menyangkut dirinya. Kelima, prinsip kesejahteraan umum mengajarkan bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain. Tanggung jawab itu mewajibkan bagi setiap orang untuk mengambil bagian dalam menyejahterakan setiap individu, kelompok dalam masyarakat.

Salinan dari “Sorot Mencor - 2 Agustus 2015”

Jumat, 23 Oktober 2015

KEWAJIBAN-KEWAJIBAN UMAT DALAM GEREJA KATOLIK

Dalam Gereja Katolik sudah ada kewajiban serupa hanya beda bunyi rumusan kewajibannya, misalnya setiap orang Katolik wajib menaati sepuluh perintah Allah setiap hari sepanjang hidup : (1). Jangan menyembah berhala, berbaktilah kepada-Ku saja, dan cintailah Aku lebih dari segala sesuatu. (2). Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat. (3). Kuduskan hari Tuhan. (4). Hormati ibu-bapamu. (5). Jangan membunuh. (6). Jangan berzinah. (7). Jangan mencuri. (8). Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu. (9). Jangan mengingini istri sesamamu. (10). Jangan mengingini milik sesamamu secara tidak adil.

Dalam Gereja Katolik ada kewajiban lain, setiap orang Katolik wajib mentaati lima perintah Gereja : (1). Rayakan hari raya yang disamakan dengan hari Minggu. (2). Ikutilah perayaan Ekaristi pada hari Minggu dan hari raya yang diwajibkan, dan janganlah melakukan pekerjaan yang dilarang pada hari itu. (3). Berpuasalah dan berpantanglah pada hari yang ditentukan. (4). Mengaku dosalah sekurang-kurangnya sekali setahun. (5). Sambutlah Tubuh Tuhan pada masa Paska.

Dalam Gereja Katolik ada sepuluh kebiasaan yang harus dihidupi umat Katolik sejak kecil sampai lanjut usia, dan setiap orang tua wajib mendidikan kebiasaan itu pada anak-anaknya : (1). Berhimpun pada hari Minggu. (2). Membaca Kitab Suci. (3). Melaksanakan Ibadat Harian : Ibadat Pagi, Ibadat Bacaan, Ibadat Siang, Ibadat Sore, Ibadat Penutup, ibadat ini bukan doa harian. (4). Berdoa bersama dalam keluarga. (5). Berdoa secara pribadi. (6). Terlibat dalam kehidupan jemaat setempat (Lingkungan, stasi, paroki). (7). Terlibat dalam masyarakat. (8). Berpuasa dan berpantang. (9). Memeriksa batin. (10). Mengaku dosa di hadapan imam.

Selanjutnya sambil melaksanakan kewajiban-kewajiban itu, umat Katolik memperhatikan sabda Tuhan, “ Ingatlah, jangan kamu melaksanakan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di Sorga.” (Mat 6:1)

Salinan dari “Sorot Mencor - 22 Maret 2015”

Kamis, 22 Oktober 2015

MACAM-MACAM DOSA

Sebelum dijawab aneka macam dosa, perlu dijelaskan dahulu, apa itu dosa. Dosa adalah suatu pelanggaran terhadap akal budi, kebenaran, dan hati nurani yang baik. Dosa adalah satu kesalahan terhadap kasih yang benar terhadap Allah dan sesama atas dasar satu ketergantungan yang tidak normal kepada barang-barang tertentu. Dosa melukai kodrat manusia dan solidaritas manusiawi. Santo Agustinus mendefinisikan dosa sebagai “kata, perbuatan, atau keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi (Faus. 22, 27).

Menurut Kitab Suci dosa merupakan penghinaan terhadap Allah: “terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang kau anggap jahat” (Mzm 51:6). Dosa memberontak terhadap kasih Allah kepada manusia dan membalikkan hati dari Dia. Seperti dosa perdana, ia adalah satu ketidaktaatan, suatu pemberontakan terhadap Allah, oleh kehendak menjadi “seperti Allah” dan olehnya mengetahui dan menentukan apa yang baik dan apa yang jahat (Kej 3:5). Dengan demikian dosa adalah cinta diri yang meningkat sampai menjadi penghinaan Allah (Agustinus, civ 14, 28). Karena keangkuhan itu, maka dosa bertentangan penuh dengan ketaatan Yesus (bdk. Flp 2:6-9) yang melaksanakan karya keselamatan.

Tentang bentuknya, dosa itu beraneka ragam. Kitab Suci memiliki beberapa daftar dosa. Surat kepada umat di Galatia mempertentangkan pekerjaan-pekerjaan daging dengan buah Roh: “Perbuatan daging telah nyata, yaitu : percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, pencideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora, dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu, seperti yang telah kubuat dahulu, bahwa barang siapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah (Gal 5:19-21). Kitab Suci mengajarkan bahwa dosa itu berasal dari dalam hati manusia, di dalam kehendak manusia yang merdeka, atau bebas. “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu, dan hujat. Itulah yang menajiskan orang (Mat 15:19-20).

Salinan dari “Sorot Mencor - 8 Maret 2015”

KUNCI KERAJAAN ALLAH

Untuk memahami sabda yang berkaitan dengan kunci kerajaan Allah, pertama kita perlu tahu mengapa kunci itu diberikan kepada Petrus, bukan yang lain. Injil memberikan kesaksian kepada kita, bahwa sejak awal kehidupan Yesus di muka umum, Ia memilih laki-laki dua belas orang; mereka ini harus ada bersama Dia dan mengambil bagian dalam perutusan-Nya. Yesus mengijinkan mereka mengambil bagian dalam otoritas-Nya, bahkan Yesus mengutus mereka untuk melakukan hal yang sama yang Ia lakukan, yakni memberitakan Kerajaan Allah dan menyembuhkan orang (Luk 9:2). Mereka berhubungan sedemikian erat dengan Yesus, sebab, Kristus memimpin umat-Nya melalui mereka. Dalam kebersamaan dua belas orang laki-laki itu, Simon Petrus menduduki tempat pertama. Yesus memberi kepercayaan yang khusus kepadanya. Kepercayaan Yesus kepada Petrus secara eksplisit dikatakan, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaatKu dan alam maut tidak akan menguasainya (Mat 16:16-18).

Kedua, Simon Petrus sebagai yang pertama dari antara dua belas murid diberikan wewenang khusus, “Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Mat 16:19). Gereja menafsirkan kuasa kunci-kunci itu berarti wewenang untuk memimpin rumah Allah, yang tidak lain adalah Gereja yang didirikan Kristus. Tugas itu, dinyatakan secara lebih tegas oleh Yesus pasca kebangkitan-Nya. Ia sebagai gembala agung mengatakan kepada Petrus setelah menguji cintanya: Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh 21:15-17). Lalu, wewenang untuk “mengikat” dan “melepaskan” menyatakan wewenang di dalam Gereja untuk membebaskan dari dosa, mengambil keputusan menyangkut ajaran dan memberikan keputusan-keputusan disipliner. Tiga otoritas Kristus yang besar itu dipercayakan kepada Gereja melalui pelayanan para Rasul (bdk. Mat 18:18) dan terutama melalui Petrus yang diberikan wewenang khusus oleh Kristus.

Ketiga, Simon Petrus dan para rasulnya, dilanjutkan para penggantinya yakni Paus dan para uskup. Para pengganti Petrus dan para rasul itu tetap memiliki kuasa yang sama yang diberikan Kristus kepada Simon Petrus dan para rasul. Diberi kuasa untuk membebaskan dari dosa, mengambil keputusan menyangkut ajaran dan memberikan keputusan-keputusan disipliner dalam Gereja-Nya.

Salinan dari “Sorot Mencor - 3 Mei 2014”

Rabu, 21 Oktober 2015

GELAR-GELAR MARIA DALAM LITANI

Maria Bejana Rohani, Vas Spirituale. Gelar ini sangat berhubungan dengan misteri inkarnasi. Maria mengandung dari Roh Kudus (bdk. Mat 1:18), karena sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci, bahwa : “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah (Luk 1:35). Gelar bejana rohani yang dikenakan pada Maria, berarti bejana yang dipenuhi Roh Kudus. Jadi gelar ini tidak memperlawankan antara bejana jasmani dengan bejana rohani.

Maria Bejana Kebaktian Utama, gelar ini tidak sangat tepat menerjemahkan Vas Insigne Devosionis, sebab istilah tersebut menyatakan bahwa Maria merupakan tempat yang unggul, penyerahan diri, keterarahan diri manusia kepada Allah. Dengan jawaban Maria kepada malaikat, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38), maka tampak jelas, bahwa Maria sepenuh-penuhnya merelakan diri bagi kehendak Allah. Gelar Maria bejana kebaktian utama mengingatkan umat beriman, bahwa setiap murrid Yesus dipanggil kepada penyerahan diri kepada Allah. Sebab, hanya dengan keterarahan diri kepada-Nya, manusia bisa melaksanakan kehendak-Nya terlibat dalam karya keselamatannya.

Maria Pintu Surga. Fungsi pintu dalam rumah adalah tempat orang keluar atau masuk rumah. Makna pintu itulah yang dikenakan pada gelar Maria sebagai pintu surga. Pintu surga adalah tempat Allah keluar dari surga untuk mendekati manusia, namun serentak manusia masuk dalam surga berkat Yesus Kristus yang lahir dari perawan Maria. Maka, dengan gelar Maria pintu surga umat beriman diingatkan bahwa Allah selalu mendekatkan diri dengan umat-Nya, memanggil mereka agar datang kepada-Nya. Sebab, Allah merupakan tujuan hidup manusia.

Salinan dari “Sorot Mencor - 24 Mei 2013”

GELAR-GELAR MARIA DALAM LITANI

Maria Cermin Kekudusan. Gelar ini tidak sangat tepat menerjemahkan kata Speculum Justicine, cermin kebenaran. Maka gelar yang tepat sebenarnya, Maria cermin kebenaran. Maksud gelar ini hendak menyatakan, bahwa Bunda Maria bagaikan cermin yang memantulkan atau memperlihatkan kebenaran Allah bagi orang beriman. Kebenaran itu adalah tindakan Allah menyelamatkan dan menguduskan manusia yang dilaksanakan melalui Yesus Kristus, sebagaimana dinyatakan Paulus, “Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita. (1 Kor 1:30). Hidup Maria merupakan contoh manusia yang telah mengalami tindakan Allah yang menyelamatkan, sekaligus manusia yang telah dibenarkan dan dikuduskan oleh Allah melalui Yesus Kristus.

Maria Tahta Kebijaksanaan, Sedes Sapientiae. Gelar tahta kebijaksanaan ini mengingatkan orang akan kebijaksanaan Allah yang berkata tentang dirinya sendiri, sebagaimana dinyatakan kitab Yesus bin Sirakh, “Aku telah tinggal di tempat yang tinggi dan tahta-Ku di atas awan.” (Sir 24:4). Umat Perjanjian Lama, mengalami kehadiran Allah melalui awan. Bahkan Allah membimbing Umat Terjanji sampai ke Kanaan melalui kebijaksanaan tiang awan yang berjalan di depan mereka. Di atas awan itulah Allah bertahta. Umat Kristen sudah lama menyamakan Kristus dengan kebijaksanaan ilahi. Maka, dengan penjelmaan Allah menjadi manusia kebijaksanaan ilahi tidak lagi bertahta di atas awan-awan, melainkan dalam rahim manusia, yakni Maria. Tentang kebenaran bahwa manusia menjadi tahta kebijaksanaan ilahi, nyata dalam diri manusia. Maka, memandang Maria sang tahta kebijaksanaan ilahi mengingatkan orang beriman, bahwa dirinya juga menjadi tahta kebijaksanaan ilahi berkat Kristus melalui Roh Kudus. Sebab, sekarang Allah hadir melalui Roh Kudus.

Salinan dari “Sorot Mencor - 12 Mei 2013”

LATAR BELAKANG SEJARAH ORANG PROTESTAN TIDAK BERDEVOSI KEPADA BUNDA MARIA

Bila ditanyakan latar belakang sejarahnya, perlu dikatakan bahwa sebenarnya Martin Luther sebagai reformis Gereja yang melahirkan Protestanisme menghormati Maria, hal itu tampak sebagaimana terdokumentasi dalam sermon tanggal 15 Agustus 1522, pada saat terakhir kali Martin Luther berkhotbah di hari Perayaan Maria Diangkat ke Surga, ia menyatakan: “Tidak perlu diragukan lagi, bahwa Perawan Maria berada di surga. Bagaimana terjadinya, kita tidak mengetahuinya. Dan karena Roh Kudus tidak mengatakan apapun tentang itu, kita menyatakannya tidak sebagai pokok iman (article of faith) .…. Adalah cukup untuk mengetahui bahwa ia hidup di dalam Kristus.”. Dan masih ada sejumlah dokumen lain yang isinya sejenis. Dari kesemua itu dapat disimpulkan, bahwa Martin Luther mengajarkan Bunda Maria adalah seorang yang kudus, telah berada di surga, dan ia layak dihormati oleh semua orang, dan ia menjadi ibu rohani bagi semua umat Kristiani. Memang menjadi sesuatu yang perlu kita renungkan bersama meskipun pendiri Gereja Protestan pada awalnya mengakui kekudusan Bunda Maria, dan menghormatinya, namun sekarang sepertinya umat Protestan tidak mempunyai penghayatan yang sama?

Salah satu, penyebabnya, kemungkinan karena saudara-saudara kita yang terpisah, menekankan tentang ajaran Sola Gratia, yang berarti bahwa keselamatan itu semata-mata karena anugerah Allah, bukan karena perbuatan baik manusia. Perbuatan baik kita tidak bisa menjadi silih yang mengamankan keselamatan Allah, hal itu karena kebaikan Allah Tuhan terlalu tinggi sehingga tidak terjangkau oleh manusia, apalagi dengan hakikat kepengantaraan orang kudus, tidak diperlukan lagi. Maka wajar bahwa dampak dari penekanan Sola Gratia adalah hilangnya penghormatan terhadap orang-orang kudus, termasuk di dalamnya devosi kepada Maria, bunda Yesus.

Situasi tersebut semakin diperparah oleh ikonoklasme kaum Protestan, yakni gerakan fanatik kaum reformasi terhadap penyingkiran altar, pemusnahan karya-karya seni religious, dan penghapusan dekorasi di banyak gedung Gereja Protestan yang dulunya adalah Gereja Katolik. Calvin secara khusus  menekankan bahwa penghormatan kepada para kudus merupakan karya setan dan penghormatan kepada patung dan gambar-gambar kudus merupakan penyembahan berhala. Apa yang dilakukan masa lalu, tentu masih terbawa serta hingga sekarang. Sebab, sejarah memang terwariskan pada generasi-generasi selanjutnya.

Salinan dari “Sorot Mencor - 13 Januari 2013”